Ada 2 jalur pendakian yang gue tau buat mencapai puncak
Ciremai. Palutungan dan Linggarjati. Bagi yang lewat jalur Linggarjati nanti
bakal lewatin Museum Linggarjati. Tempat dimana perjanjian pemindahan kekuasaan
dari Belanda ke Republik Indonesia, dan sebagai pengakuan Belanda secara de facto atas Sumatera, Jawa dan
Madura sebagai Republik Indonesia. Cuma 3 pulau itu yang awalnya diakuin
Belanda jadi sebuah negara Republik Indonesia. Jadi ingat ! perjalanan dari RI
menjadi NKRI itu puanjaaang dan suliitt. Makanya orang Indonesia jangan mau
dipecah belah, di adu domba dengan alasan-alasan yang sepele. Kita satu dan
harus tetap bersatu, jangan cuma bersatu waktu ada yang ganggu Indonesia, tapi
di waktu yang relatif damai ini mari kita bersatu membangun negara ini.
Merdekaa !!
...
Jalur Palutungan adalah yang kita pilih untuk pendakian ini.
Jalan setapak menanjak langsung menyambut kita. Belum lama berjalan, mendung
semakin gelap dan gerimis mulai turun. Ga jauh dari pos pendakian pertama,
nanti kalian akan ketemu kaya semacam pos ronda gitu. Mungkin buat neduh petani
sana, atau memang dibuat untuk pendaki. Kita numpang neduh sebentar disitu,
sembari atur napas, adaptasi ceritanya. Ceritanyaaa..
Hujan mulai reda. Kita lanjut dan langsung masuk area
vegetasi. Hutan lebat dengan tumbuhan kanopinya. Kita sempat nyasar karena
tanda penunjuk arahnya ada yang nyabut, dan menggeletak begitu aja. Kitapun
salah jalur, kami tahu karena jalan mentok jurang, selain itu kawanan
monyet-monyet besar juga lompat dari dahan ke dahan di atas kami. Kita kemudian
balik lagi dan ambil jalur satunya. Hari mulai gelap, dan semakin gelap. Senter
dan headlamp terpasang.
Ga lama kemudian hujan deras tiba-tiba turun. Dengan sigap
kita semua sudah memakai jas hujan. Kurang dari satu menit kitapun melanjutkan
perjalanan. Kali ini jalan lebih rapat, karena gelap dan kondisi hujan serta
hutan yang benar-benar lebat. Gue cuma bisa ngikutin kaki Ical yang diterangi
senter gue. Karena selebihnya gelap. Sampai kita tiba di pos kedua, atau pos
pertama jika pos tempat simaksi tidak dihitung. Jam sudah menunjukan pukul 9
malam. Ga kerasa kami sudah berjalan 4 jam lebih. Seharusnya bisa sampai pos 1
ini dalam 2 jam, tapi karena sempat nyasar dan beberapa kali berhenti karena
hujan, jadi kami lebih lama. Disini kami bagi tugas, sebagian mendirikan tenda,
dan lainnya mengambil air di sungai. Disini terakhir kita dapat menemukan
sumber air. Dan ini sama sekali belum ada seperempat perjalanan. Kita ngecamp
semalam disini.
Siang, sekitar jam 10 kita lanjutkan perjalanan. Dengan tas
yang mencapai beban maks. Jika saat di bawah kita masih bawa jerigen-jerigen
kosong. Sampai disini semua jerigen diisi penuh. Ditambah botol-botol kapasitas
5 liter lain. Ini yang gue bilang tadi. Bahkan daypack bisa lebih berat dari
keril umumnya. Apalagi keril yang diisi air.
Pos demi pos kita lalui, sambil beberapa kali istirahat
karena beban berat benar-benar menguras tenaga. Kalau Ultramen ikut, dia pasti
udah berkali-kali charge tenaga pakai powerbank buat menghentikan dadanya yang
kedip-kedip.
Sampailah kita sekitar jam 1 siang di tanjakan asoy. Tanjakan
yang ga se-asoy namanya, ha mbok sumpah ga boong. Tanjakan yang bisa
mengandaskan Usain Bolt jadi perlari tercepat. Apalagi kalau dia bawa beban
kaya kami. Keril yang berat, plus beban kehidupan benar-benar membuat kaki
berat melangkah. Pingin pulang lagi tapi “udah terlanjur kebawa jauh” kalo kata
tukang salak di bus Cirebon. Yak, sepanjang perjalanan kita terus ketawa, ga
terasa jadinya. Si tukang salak itu memeberi banyak bahan bagi kita untuk
membuat joke-joke peneman perjalanan.
Sore, sekitar pukul setengah 5 kita sampai di dekat puncak.
Kira-kira tinggal jalan menanjak 100m ke atas. Daaan badai datang. Sebelumnya
kabut tebal dan awan gelap mucul. Ga lama hujan badai turun. Kita berlindung di
tebing terdekat, sambil mendirikan flysheet dengan kecepatan yang sama kaya
orang lagi naik motor, mau pulang kerumah, sambil nahan buang air besar.
Badai reda. Flysheet dibuka. Tapi terlambat. Semua telah
berubah. Sekeliling sudah berubah gelap. Gue bingung sedang dimana. Tiba-tiba
seseorang menepuk pundak gue, dan berkata “tenanglah kisanak, kisanak masih
berada di Gunung Ciremai” orang itu adalah Sembara, musuh Mak Lampir. Kemudian
ia berlalu sambil mengendarai kura-kura.
Abaikan cerita itu, Ciremai emang dikenal dengan cerita Mak
Lampirnya.
Tadinya kami mau melanjutkan perjalanan ke puncak. Tapi
berhubung gelap, jalur pasir dan batu, banyak pendaki mengingatkan kita untuk
hati-hati agar tidak terpeleset ke kawah. Lalu ada yang menyarankan lewat jalur
di bawah sedikit dari bibir kawah. Tapi harus hati-hati juga, karena kalau
terpeleset, bisa jatuh ke jurang. Kamipun akhirnya memilih untuuuk.. Ngecamp
lagi haha. Safety first gais. Semalam lagi yang penting aman.
Paginya. Summit attack !
Puncaknya cukup luas untuk foto-foto, dan kawahnya terlihat
jelas. Gueng foto-fotonya terhapus, jadi cuma beberapa yang selamat karena
sudah gue upload ke laman facebook gue. Beberapa juga sempat gue upload di
Instagram gue. Silahkan, cek IG kita sis... Siswoyo.
Gak terlalu lama kami dipuncak. Karena tak ada penutup, sinar
matahari langsung mengenai kulit. Ini yang membuat banyak pendaki menjadi
hitam. Terbakar matahari, namun tidak terasa panas. Terbuai dengan dinginnya
suhu di gunung. Oh iya, banyak pemandangan tidak sedap waktu gue di atas sana.
Bukan sampah. Tapi orang pacaran. Mungkin kalian menganggap biasa saja. Tapi
bagi gue yang saat itu lagi jom*sebagian teks hilang*
Selanjutnya perjalanan turun. Kali ini kita memilih jalur Linggarjati.
Jalur terekstrim katanya. Bukan katanya sih. Emang iya !
Nama posnya pun angker-angker, ada Bapa Tere, Kuburan Kuda,
Bayangan Mantan, IPK Rendah, serem-serem deh pokoknya. Dan kemiringan jalurnya
nyaris 45 derajat. Ditambah trek tanah berlumpur karena hujan yang terus
mengguyur dari siang sampai sore. Bikin jalur ini lebih berat apabila digunakan
menanjak. Nah, buat yang turun gimana ? Sama aja ! Berat juga. Gue sempat jatuh
beberapa kali karena terpeleset atau tersandung akar yang tertutup lumpur. Dan
tiap teman gue melihat kearah gue waktu terjatuh. Gue selalu bilang “tenaang,
ini bagian dari pertunjukan”.
Disaat turun ini gue bertemu dengan rombongan komunitas dari
Jakarta. Dan seorang pria yang menjadi penjaga mereka. Bukan porter, tapi masih
anggota komunitas itu juga. Saat itu gue sedang beristirahat sendiri sembari
menunggu kawan gue diatas, karena sebagian ada yang sudah turun duluan, dan dia
muncul. Ikut istirahat sambil nawarin minuman. Terus dia cerita, semalam di
rombongannya ada perempuan yang kehabisan air. Mungkin dia belum tau manajemen
air. Akhirnya kehabisan air. Di Bapa Tere itu. Kemudian dia turun sendiri,
malam gelap, untuk ambil air dibawah, lalu naik lagi. Gokil ! Ga lama istirahat
dia pamit duluan sama gue. Katanya ada anggota rombongan yang sakit, kerilnya
sama dia. Di keril itu ada jaketnya. Dan sebagai informasi tambahan, mas-mas
itu bawa 3 keril sekaligus waktu turun. Punya anggota-anggota yang gugur dalam
pertempuran. Halah..
Malam hari kami sampai di bawah. Ada warung warga, kitapun
mandi, makan dan siap-siap pulang.
Prinsip gue, naik gunung ga usah
ganteng-ganteng. Pas pulang harus ganteng dan wangi. Sikap.
Ciremai ini lumayan horror memang. Ada di satu pos yang
namanya Kuburan Kuda. Kami satu tim mengalami kejadian yang ganjil. Mau tau
ceritanya ? nanti gue ceritakan sembari makan malam. Gimana ?
Kemudian berakhirlah petualangan kami di Ciremai. Mobil
carteran datang menjemput kami. Membawa kami pulang kerumah masing-masing. Akai
dan Usman doang yang engga, karena dia langsung turun di kantornya. Langsung
kerja. Luar biasa abang-abang ini.
Gue sendiri bagaimana ? Sampai rumah, gue langsung nyuci
semua baju, jas hujan, dan keril yang berubah coklat karena tanah. Kemudian
istirahat. Esoknya.. Gue susah jalan dan pincang selama 3 harian. Pegal, dan
kaki sakit parah banget !
0 komentar:
Posting Komentar