Selasa, 14 Maret 2017



Pendakian kedua gue. Dapet dosen yang enak buat cabut-cabut. 2014 gue berangkat ke Ciremai.

Gunung Ciremai, puncak tertinggi di Jawa Barat. Yang gue udah lupa persisnya tanggal berapa karena semua data di laptop habis tak bersisa gara-gara hardisk gue sempet rusak beberapa waktu lalu.



Sebenernya ga rusak, cuma salah satu sistemnya ga bisa nerima OS yang gue install. Daan, kalau dijelasin ke yang bukan bidangnya bisa panjang dan njelimet. Meskipun gue lulusan Ilmu Komputer, gue suka susah jelasin beberapa hal menyangkut komputer ke orang yang bidangnya diluar komputer. Jadi gue pakai bahasa yang lebih sederhana semisal hardisk rusak ini hehe.

Mau numpang curhat sebentar. Jadi anak IT itu, salah satu susahnya disitu, kadang orang mau tau permasalahan di komputernya. Taaapi, gue suka susah cari bahasa yang lebih gampangnya, udah gitu kadang gue habis jelasin panjang lebar, sampai terjatuh dan tak sanggup bangkit lagi, tenggelam dalam lautan luka dalam, dapetnya cuma jawaban “udah ah, pusing gue” atau “gatau ah, yang penting lo bisa beresinnya kan ?” ... Kaya percuma aja tadi gue udah panjang lebar jelasin. Disitu kadang gue merasa sedih. Minimal dikasih “ooh gitu” udah seneng kok gue. Daripada udah ah, ga tau ah, ah ah ah.. ikkee... ikkee kimochii...

...

Balik ke tujuan awal gue bikin tulisan ini. Menceritakan pengalaman gue ke Ciremai.

Habis tahun baru 2014. Gue diajak teman SMA gue dulu yang namanya Jambek (bukan nama sebenarnya) untuk mendaki puncak tertinggi Jawa Barat itu. Yang kalau jadi, ini akan jadi kali kedua gue naik-naik ke puncak gunung setelah yang pertama gue naik ke Merbabu.

Si Jambek ini kebetulan rumahnya deket sama tempat tinggal gue. Dia punya rencana dengan teman-teman rumahnya buat mendaki ke Ciremai. Gue yang saat itu sedang santai kuliahnya langsung setuju, kemudian mengusulkan untuk mengajak Ical, teman SMA gue yang lain. Ical ini teman dekat dengan Jambek juga, dan kebetulan dia juga bisa ikut.

Sehingga sekitar bulan Maret kami berangkat ke Ciremai. Gunung yang sebelumnya cuma bisa gue lihat dari Tol Pejagan arah Jakarta waktu pulang dari Jogja. Gak nyangka juga ada yang ngajak gue kesana. Tapi yang awalnya gue kira kuliah gue lagi santai, ternyata seminggu sebelum gue berangkat, dosen gue ngasih gue project. Buat aplikasi lengkap dengan penulisannya yang ber- BAB – BAB itu, dikumpulkan sebulan kurang. Gokil men.. Sebelumnya gue pernah buat hal serupa, itu butuh waktu sekitar 2 -3 bulan. Ini satu bulan. Kelompok sih tugasnya, jadi bisa sedikit ringan lah.

...

Malam hari, dirumah gue. Ical merapat sekitar habis Isya, rencananya kita mau packing. Barang-barang dia mau ditaruh di dalam keril gue. Daypack dia nantinya mau diisi logistik dan air. Daypack ini kemudian nantinya bakal lebih berat dari keril gue. Emejing. Ga lama setelah Ical datang dan packing hampir selesai, Jambek datang kerumah. Tujuan sama, menitipkan beberapa bawaan dia ke dalam keril gue juga. Si Jambek ini nantinya bakal bawa keril lain yang gedenya kaya jetpack.

Esok malamnya, sebelum berangkat. Keril gue timbang, beratnya hampir 30 kg dari batas maksimal beban, yaitu 25 kg. Kita berangkat menuju Cirebon dengan Bus dari terminal Kampung Rambutan. Gue dijemput Jambek untuk kemudian kumpul bersama pendaki lainnya. Mereka lebih senior dari gue. Dan hanya satu yang hampir seumuran dengan gue, Ical, dan Jambek. Namanya Mbong (bukan nama sebenarnya). Pendaki lain yang lebih senior dari gue ada Akai (bukan nama sebenarnya), Bapel (bukan nama sebenarnya), Bang Tabon (bukan nama sebenarnya deh kayaknya), dan satu lagi Usman (nah kalo ini nama asli). Diantara nama-nama itu, yang paling tua adalah Bang Tabon, entah karena usia atau apa rambutnya sudah memutih. Tapi dia sudah hampir semua gunung di Pulau Jawa dia daki. Mungkin saat itu yang paling amatir adalah gue.

...

Terminal Kampung Rambutan. Bus bergerak perlahan tapi pasti menuju Cirebon. Lesgooo !!

Di dalam bus antar Provinsi seperti itu, biasanya akan ada pedagang yang menjajakan dagangannya. Dan MVP kategori pedagang ter-absurd kali ini jatuh kepada Tukang Salak ! kepada tukang salak yang gue ga tau namanya, silahkan naik ke panggung.

Kenapa absurd. Kata-kata saat dia menjajakan dagangannya itu lho. Di awal dia buka harga 20rb per-kilogram. Dengan kalimat “ya saya jual murah aja deh.. ga ambil untung, udah malem nih mau pulang juga...” dia mulai menawarkan dagangannya dari depan ke belakang.

Tebak apa ? Ga ada satupun yang beli. Kemudian improvisasi dimulai. Berangkat dengan “oke saya kasih lebih murah lagi deh.. 10 ribu per-kilo..” kembali dari depan ke belakang ia menjajakan dagangannya. Kali ini dia agak maksa jualannya. Begitu sampai dibelakang dan akan balik lagi ke depan (karena dagangannya ditinggal di depan) dia mulai mengeluh.. “aduuh, gimana nih... ga ada yang mau beli juga.. mana udah kebawa jauh...”

Dan begitu sampai di depan dia bilang “okee 5rb aja sekilo lah gapapa.. saya jual ga ambil untung, ikhlas aja saya mah”.. Oke, udah nemu ada yang janggal ? nanti kita bahas.

Lanjut dia menawarkan dagangannya dari barisan bangku paling depan ke belakang satu persatu. Kali ini setiap satu baris bangku, dia mengeluh “aduuh udah kebawa jauh banget, aduuh”... teruus aja begitu sampai belakang. Bedanya, sekarang udah ada yang beli. Beberapa.. Dan kembali kalimat “udah kebawa jauh” itu menggema. Seakan mem-brainwash para penumpang. Kata-kata yang easy listening itu terus mengiang-ngiang di kepala gue, dan ternyata teman-teman gue juga. Kalimat inilah yang menjadi cikal bakal bercandaan selama mendaki Ciremai yang treknya ruaaar biasa. Saking luar biasanya. Tejo (bukan nama sebenarnya), teman gue yang pernah mendaki Ciremai ga mau ikut saat gue ajak lagi. Kata dia, pulang dari sana dia ga bisa jalan sekitar 3 hari. Pegal, kaki digerakin sedikit sakit katanya.

Oke, saatnya kita bahas keanehan MVP kita tersebut.

Di awal saat menjajakan dagangannya 20rb per-kilo. Dia bilang itu ga ambil untung. Belakangan dia jual 5rb katanya itu jual tanpa ambil untung juga. Jadi pertanyaannya, siapa nama bapak itu ? eh bukan. Kenapa 20 ribu dibilang ga ambil untung, 5 ribu ga ambil untung juga ? Jadi harga asli salaknya itu berapaaa ? 200 ribu ? 500 ribu sekilo ? Sungguh. Hanya si bapak, dan Allah, juga segelintir orang yang tahu.

Kemudian kalimat “aduh, mana udah kebawa jauh” yang terus dikeluhkan. Pertanyaannya, salah siapa coba ? Salah gue ? Salah sopir ? Salah kenek ? Salah ibu mengandung ? Salah siapaaa paak ? Jawaaab... Salah siaapaaa ? Salah Darth Vader ? Luke Skywalker ? Dora the explorer ?? Pertama, dia naik gratis. Turun lagi di terminal. Balik ke terminal sebelumnya, naik bus gratis lagi. Jadi ya ga masalah kan kebawa jauh ? sampai Amerika, Somalia, Ajerbaizan, mana aja juga ga masalah dong. Kan gratis. Awalnya gue iba, tapi jadi ga respek gara-gara cara jualannya yang maksa, dan keluhan-keluhan serta kebohongan-kebohongan dia. Hayati lelah Paak.. Hayati lelaahh.

...


Kita dari terminal Kampung Rambutan sekitar jam 10:30. Dan baru sampai Cirebon sekitar jam 06:00 pagi. Lama, karena di Indramayu kejebak macet. Jalan baru dicor, jadi gantian satu jalan untuk dua arah. Buka tutup. Dilanjut ganti kendaraan 2 kali, barulah sampai di Pos Pendakian. Tempat melakukan simaksi. Kira-kira sampai tempat simaksi jam 2 siang. Cuaca berawan, disertai hati yang sedikit mendung menyamarkan matahari yang malu-malu muncul. Pret.



Begitu sampai Pos, kami makan, minum teh hangat, packing ulang, ada juga yang mandi, cuci baju, cuci piring.. tapi bukan kami, itu warga sekitar. Kita sih cuma makan, minum, ya ada juga sih yang mandi, cuci muka, gitu-gitu... iya, melakukan gitu-gitu.



Udah rapi semua. Kita berdoa, ritual wajib setiap akan melakukan sesuatu. Salah satu cara berpolitik. Ya, berdoa itu aktivitas politik. Jadi yang bilang politik itu kejam, coba belajar lagi. Yang kejam itu politiknya apa politikusnya ?


Selesai berdoa, kita woi-woian. Itu loh, yang nyatuin tangan terus teriak woi.

0 komentar:

Posting Komentar